RSS
Container Icon

Epistemologi

1
Pengantar.....
Perkembangan zaman berlangsung begitu cepat. Masyarakat berjalan secara
dinamis mengiringi perkembangan zaman tersebut. Seiring dengan hal itu, filsafat
sebagai suatu kajian ilmu juga berkembang dan melahirkan tiga dimensi utama
sekaligus sebagai obyek kajiannya. Ketiga dimensi utama filsafat ilmu ini adalah
ontologi (apa yang menjadi obyek suatu imu), epistemologi (cara mendapatkan
ilmu), dan aksiologi (untuk apa ilmu tersebut). Ontologi merupakan hakikat yang
ada (being, sein) yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai
kenyataan dan kebenaran. Epistemologi adalah sarana, sumber, tatacara untuk
menggunakannya dengan langkah-langkah progresinya menuju pengetahuan
(ilmiah). Adapun aksiologi adalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran
(ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normatif dalam penelitian dan penggalian,
serta penerapan ilmu.1
Adapun ruang lingkup filsafat ilmu meliputi:2
1. komparasi kritis sejarah perkembangan ilmu;
2. sifat dasar ilmu pengetahuan;
3. metode ilmiah;
4. praanggapan-praanggapan ilmiah;
5. sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Hubungan antara persoalan, aktivitas, dan pengetahuan filsafati dapat dilihat
pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Hubungan antara persoalan, aktivitas, dan pengetahuan filsafati
Filsafat ilmu bertugas memberi landasan filosofik untuk minimal memahami
berbagai konsep dan teori suatu disiplin ilmiah. Secara substantif fungsi
pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dari disiplin ilmu masing-
masing, agar dapat menampilkan teori substantif. Selanjutnya, secara teknis
diharapkan dengan dibantu metodologi, pengembangan ilmu dapat mengopera-
sionalkan pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-
masing.3
Makalah ini mengupas tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi filsafat
ilmu. Tujuan penulisan makalah ini antara lain:
1. mengkaji secara mendalam berbagai pengertian ontologi ilmu;
2. mengkaji salah satu konsep ontologi: the study of the nature of existence and
being in the abstract”ata u the science of being and universal order”;
3. mengkaji ontologi sebagai dasar pemikiran filsafat;
4. mengkaji persoalan epistemologi;
5. mengkaji kaitan epistemologi dan cara memperoleh kebenaran/ilmu;
6. mengkaji kaitan epistemologi dengan alur pengetahuan (divergen maupun
konvergen);
7. mengkaji epistemologi sebagai kunci pengembangan ilmu;
8. mengkaji pengertian aksiologi;
9. mengkaji kaitan antara aksiologi dan implementasi sebuah ilmu;
10. mengkaji nilai kemanfaatan sebuah ilmu.

Pengertian Ontologi Ilmu (Hakikat Ilmu)
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal
dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret.
Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti
Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum
membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf
yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam
yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah
pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi
belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakniont os danlog os. Ontos berarti sesuatu
yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok
filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut
tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada
alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan
tertib dalam keharmonisan (Suparlan Suhartono, 2007). Ontologi dapat pula
diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau
keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera.
Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain,
ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud
(yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung pula
oleh pernyataan Runes bahwa“ontology is the theory of being qua being ”, artinya
ontologi adalah teori tentang wujud.
Obyek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran
studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi
banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan
tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan
pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam
setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yan
meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. Berdasarkan hal tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa obyek formal dari ontologi adalah hakikat seluruh realitas.
Hal senada juga dilontarkan oleh Jujun Suriasumantri (2000: 34– 35), bahwa
ontologi membahas apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan
suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologis dari ilmu
berhubungan dengan materi yang menjadi obyek penelaahan ilmu. Berdasarkan
obyek yang telah ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris,
karena obyeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman
manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca
indera manusia. Berlainan dengan agama dan bentuk-bentuk pengetahuan lain,
ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian-kejadian yang bersifat empiris, selalu
berorientasi terhadap dunia empiris.
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan
yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat
tentang apa dan bagaimana (yang ) “ada” itu (being, sein, het zijn). Paham monism
yang terpecah menajdi idealism atau spiritualisme, paham dualism, pluralism
dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhirnya
menentukan pendapa bahkan keyakinan kita masing-masing mengenai apa dan
bagaimana (yang)“ada” sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.4
Dengan demikian, penulis mendapatkan sebuah simpulan bahwa ontologi
merupakan sebuah jawaban atas pertanyaan mengenai hakikat kenyataan. Kita
harus memahami dengan baik masalah-masalah ontologi agar dapat memahami
dengan baik masalah dunia, tempat kita tinggal.
B. Beberapa Konsep Mengenai Ontologi Ilmu
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda
bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas
benda itu? Apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori
hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam filsafat, antara
lain:
1. Filsafat Materialisme
2. Filsafat Idealisme
3. Filsafat Dualisme
4. Filsafat Skeptisisme
5. Filsafat Agnostisisme
Jujun S. Suriasumantri (2000: 34– 35) menyatakan bahwa pokok permasalahan
yang menjadi obyek kajian filsafat mencakup tiga segi, yakni (a) logika (Benar-
Salah), (b) etika (Baik-Buruk), dan (c) estetika (Indah-Jelek). Ketiga cabang utama
filsafat ini lanjut Suriasumantri, kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori
tentang ada: tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran serta kaitan antara zat
dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; kedua, kajian mengenai
organisasi sosial/ pemerintahan yang ideal, terangkum dalam politik. Kelima
cabang filsafat ini– logika, etika, estetika, metafisika dan politik– menurut
Suriasumantri, kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang
mempunyai bidang kajian lebih spesifik lagi yang disebut filsafat ilmu.
Berbeda dengan Kattsoff (1996: 212), ia menyatakan bahwa masalah ontologi
terdiri dari hakikat “yang ada” dan hakikat kenyataan. Adapun hakikat eksistensi
merupakan bidang garapan filsafat alam (kosmologi).
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan
teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada ideanya.
Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari tiap
sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau
konsep universal yang berlaku untuk tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik
itu kuda yang berwarna hitam, putih ataupun belang, baik yang hidup ataupun
sudah mati. Idea kuda itu adalah faham, gambaran atau konsep universal yang
berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua manapun di dunia ini.
Demikian pula manusia punya idea. Idea manusia menurut Plato adalah badan
hidup yang kita kenal dan bisa berpikir. Dengan kata lain, idea manusia adalah
”binatang berpikir”. Konsep binatang berpikir ini bersifat universal, berlaku untuk
seluruh manusia besar-kecil, tua-muda, lelaki-perempuan, manusia Eropa, Asia,
India, China, dan sebagainya. Tiap-tiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea
inilah yang merupakan hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea-
idea itu berada dibalik yang nyata dan idea itulah yang abadi. Benda-benda yang
kita lihat atau yang dapat ditangkap dengan panca indera senantiasa berubah.
karena itu, ia bukanlah hakikat, tetapi hanya bayangan, kopi atau gambaran dari
idea-ideanya. Dengan kata lain, benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca
indera ini hanyalah khayal dan illusi belaka. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa ontologi mengkaji tentang“the study of the nature of existence and being in
the abstract”atau “the science of being and universal order”.
Argumen ontologis kedua dimajukan oleh St. Augustine (354– 430 M). Menurut
Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam alam ini
ada kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia mengetahui apa
yang benar, tetapi terkadang pula merasa ragu-ragu bahwa apa yang diketahuinya
itu adalah suatu kebenaran. Menurutnya, akal manusia mengetahui bahwa di
atasnya masih ada suatu kebenaran tetap (kebenaran yang tidak berubah-ubah),
dan itulah yang menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam usahanya mengetahui
apa yang benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran yang mutlak.
Kebenaran mutlak inilah oleh Augustine disebut Tuhan.
Ontologi dapat mendekati masalah hakikat kenyataan dari dua macam sudut
pandang. Orang dapat mempertanyakan “kenyataan itu tunggal atau jamak”? yang
demikian ini meripakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan
pertanyaan, “Dalam babak terakhir apakah yang merupakan jenis kenyataan itu?”
yang demikian itu merupakan pendekatan secara kualitatif.5 Ontologi ini pantas
dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini
dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu
kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda
bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas
benda itu? apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori
hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam persoalan
keberadaan, yaitu:
7
1. Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas)
a.Monisme, aliran yang menyatakan bahwa hanya satu keadaan fundamental.
Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya
yang tidak dapat diketahui.
b.Dualisme (serba dua), aliran yang menganggap adanya dua substansi yang
masing-masing berdiri sendiri. Misal dunia indera (dunia bayang-bayang)
dan dunia intelek (dunia ide).
c.Pluralisme (serba banyak), aliran yang tidak mengakui adanya sesuatu
substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi, misalnya hakikat
kenyataan terdiri dari empat unsur yaitu udara, api, air dan tanah
(empedogles).
2. Keberadaan dipandang dari segi sifat, menimbulkan beberapa aliran,
yaitu:
a.Spiritualisme, mengandung arti ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan
yang terdalam adalah roh yaitu roh yang mengisi dan mendasari seluruh
alam.
b.Materialisme, adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang
nyata kecuali materi.
3. Keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan
a.Mekanisme (serba mesin), menyatakan bahwa semua gejala atau peristiwa
dapat dijelaskan berdasarkan asas mekanik (mesin).
b.T eleo logi (serba tujuan), berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian
alam bukanlah kaidah sebab akibat tetapi sejak semula memang ada sesuatu
kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu tujuan.
c.Vitalisme, memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan
secara fisika, kimia, karena hakikatnya berbeda dengan yang tak hidup.
d.Org anisisme (lawannya mekanisme dan vitalisme). Menurut organisisme,
hidup adalah suatu struktur yang dinamik, suatu kebulatan yang memiliki
bagian-bagian yang heterogen, akan tetapi yang utama adalah adanya
sistem yang teratur.
Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence) bersangkutan dengan
cabang filsafat metafisika. Istilah metafisika berasal dari kata yunani meta ta physika
yang dapat diartikan sesuatu yang ada di balik atau di belakang benda fisik.
Aristoteles tidak memakai istilah metafisika melainkan proto philosophia (fi
pertama). Filsafat pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada dibelakang
gejala-gejala fisik seperti gerak, berubah, hidup, mati.6
Metafisika merupakan telaahan atau teori tentang yang ada, istilah metafisika ini
terkadang dipadankan dengan ontologi jika demikian, karena sebenarnya
metafisika juga mencakup telaahan lainnya seperti telaahan tentang bukti-bukti
adanya Tuhan. Metafisika dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran tentang
sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan.7
Persoalan-persoalan metafisik dibedakan menjadi tiga yaitu persoalan ontologi,
persoalan kosmologi, dan persoalan antropologi.8
1. Persoalan-persoalan ontologi diantaranya:
a. Apa yang dimaksud dengan ada, keberadaan atau eksistensi itu?
b. Bagaimana penggolongan dari ada, keberadaan atau eksistensi?
c. Apa sifat dasar (nature) kenyataan atau keberadaan?
2. Persoalan-persoalan kosmologi (alam) diantaranya:
a. Apa jenis keraturan yang ada di dalam alam?
b. Apakah keteraturan dalam alam seperti halnya sebuah mesin atau
keteraturan yang bertujuan?
c. Apakah hakikat hubungan sebab dan akibat?
d. Apakah ruang dan waktu itu?
3. Persoalan-persoalan antropologi (manusia) diantaranya:
a. Bagaimana terjadi hubungan antara badan dan jiwa?
b. Manusia sebagai mahluk bebas atau tak bebas?
C.Hakikat “ada” dan “eksistensi”
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata “ada” berarti hadir, telah sedia,
sedangkan “keberadaan” berarti hal berada, kehadiran.Hakikat “ada” dan
“keberadaan” diperoleh melalui alur berikut


9
Gambar 1. Alur hakikat “ada” dan “keberadaan”
Manusia sebagai subjek yang dapat berpikir dan melihat lewat penginderaan
dapat melihat realitas kehidupan sebagai obyek. Dari obyek inilah akan muncul
data indera atau penampakan. Dengan menggunakan data penampakan, manusia
sampai pada suatu intinya yang terdalam yaitu substansi hakikat “ada” dan
“keberadaan”.
D.Hakikat “Ada” dan “Eksistensi” Suatu Ilmu Melalui Proses Abstraksi Yang
Mendasar Untuk Suatu Kebenaran Spekulatif
Untuk memperoleh pemahaman tentang hakikat segala sesuatu dilakukan
dengan suatu metode analisis yang disebut analisis abstraksi. Metode analisis
abstraksi dilakukan setingkat demi setingkat untuk akhirnya sampai pada suatu
pemahaman pengertian “hakikat”. Begitu juga dalam memahami hakikat “ada” dan
“keberadaan” suatu ilmu bisa diperoleh melalui proses analisis abstraksi tersebut.
Metode abstraksi digunakan ontologi untuk mencari kejelasan tentang dunia fakta
seluruhnya sampai pada pengertian yang fundamental. Pengetahuan fundamental
yang dihasilkan oleh ontologi dapat dijadikan dasar untuk membahas kembali
asumsi dasar yang oleh ilmu pengetahuan telah dianggap mapan kebenarannya.
Filsafat spekulatif sesungguhnya hanyalah merupakan sebutan lain dari
metafisika. Menurut perumusan Alfred North Whitehead, filsafat spekulatif adalah
usaha untuk menyusun sebuah system ide-ide umum yang berpautan dan perlu
yang dalam kerangka system itu setiap unsur dari pengalaman dapat ditafsirkan
(Speculative Philosophy is the endeavour to frame a coherent, logic, necessary system
of general ideas in terms of which every element of our experience can be
nterpreted). Dengan demikian, kebenaran spekulasi adalah kebenaran karena
adanya pertimbangan meskipun kurang dipikirkan secara matang, dikerjakan
dengan penuh resiko, relatif lebih cepat dan biaya lebih rendah daripada trial-
error.
Dengan metode analisis abstraksi kita coba untuk menelaah hakikat ”ada” dan
“eksisitensi” ilmu. Sebelum manusia memiliki berbagai ilmu, peristiwa alam yang
terjadi tak dapat dimengerti apalagi diramalkan dan dikuasai. Untuk dapat
menerangkan peristiwa tersebut, manusia lari kepada aneka penjelasan tahyul atau
uraian serba gaib. Misal bila gunung berapi meletus dan mendatangkan
malapetaka maka dia menjelaskan bahwa dewa gunung sedang marah. Dengan
berkembangnya ilmu seperti vulcanology, geografi fisis manusia dapat
menerangkan secara tepat dan cermat berbagai peristiwa yang dijumpai dan bisa
meramalkan peristwa yang belum terjadi.
Pada tahap awal perkembangan filsafat di Yunani, pertanyaan tentangke -ada -a n
atau eksistensi cukup mendomisasi dalam pemikiran para Filsuf dengan
pembahasannya mengenai Bahan dasar dari alam. Ke-ada-an yang mengelilingi
kehidupan manusia banyak sekali, ada yang dapat disentuh oleh pancaindera, ada
juga yang tidak, ada benda mati, tumbuhan, hewan, manusia, pikiran, jiwa yang
beragam perwujudannya. Apakah esensi ke-ada-an semua itu merupakan realitas
sendiri-sendiri, atau hanya penampakan saja dari suatu esensi ke-ada-annya yang
tunggal?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, para filsuf menelaah melalui filsafati
sampai memperoleh hakikat ”ada” dan “eksisitensi” ilmu.
Jika ditinjau dari segi ontologi yang berarti persoalan tentang hakikat
keberadaan ilmu menunjukkan bahwa ilmu selalu berada dalam hubungannya
dengan eksistensi kehidupan manusia, karena ilmu berdasar pada beberapa
asumsi dasar untuk mendapatkan pengetahuan tentang fenomena yang nampak
dalam kehidupan. Asumsi-asumsi dasar tersebut meliputi:
1. dunia itu ada dan kita dapat mengetahui bahwa dunia itu benar ada;
2. dunia empiris itu dapat diketahui oleh manusia melalui pancaindera;
fenomena-fenomena yang terdapat di dunia ini berhubungan satu sama lain
secara kausal.
Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa ontologi ilmu berarti ilmu dalam
hubungannya dengan asal mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia. Tanpa
manusia ilmu tak pernah ada. Tetapi bagaimana halnya dengan keberadaan
manusia tanpa ilmu? Mungkinkah itu ada? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan
pernyataan Deskrates yang menekankan pentingya kecakapan berpikir dalam
skeptisimanya yang radikal, yang diungkap dalam “Cogito ergosom” (saya bepikir
maka saya ada). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ontologi merupakan
dasar pemikiran filsafat.
E. Pengertian Epistemologi
Ontologi berupaya secara reflektif tentang “yang ada”. Adapun epistemologis
membahas tentang terjadinya dan kesahihan atau kebenaran ilmu. Ilmu-ilmu yang
dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini
memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi
bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu
tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan
pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari semua ilmu empirik adalah prinsip
kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat, dengan demikian,
filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu empirik. Begitu pula, ilmu
logika yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara
berpikir yang benar, diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap
ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi
seluruh pengetahuan manusia.
Namun, epistemologi (teori pengetahuan), karena mengkaji seluruh tolok ukur
ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat
gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun
ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan
tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi
yang benar, diletakkan setelah epistemologi.
Hingga tiga abad sebelum abad ini, epistemologi bukanlah suatu ilmu yang
dikategorikan sebagai disiplin ilmu tertentu. Akan tetapi, pada dua abad
fenomena-fenomena yang terdapat di dunia ini berhubungan satu sama lain
secara kausal.
Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa ontologi ilmu berarti ilmu dalam
hubungannya dengan asal mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia. Tanpa
manusia ilmu tak pernah ada. Tetapi bagaimana halnya dengan keberadaan
manusia tanpa ilmu? Mungkinkah itu ada? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan
pernyataan Deskrates yang menekankan pentingya kecakapan berpikir dalam
skeptisimanya yang radikal, yang diungkap dalam “Cogito ergosom” (saya bepikir
maka saya ada). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ontologi merupakan
dasar pemikiran filsafat.
E. Pengertian Epistemologi
Ontologi berupaya secara reflektif tentang “yang ada”. Adapun epistemologis
membahas tentang terjadinya dan kesahihan atau kebenaran ilmu. Ilmu-ilmu yang
dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini
memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi
bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu
tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan
pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari semua ilmu empirik adalah prinsip
kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat, dengan demikian,
filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu empirik. Begitu pula, ilmu
logika yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara
berpikir yang benar, diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap
ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi
seluruh pengetahuan manusia.
Namun, epistemologi (teori pengetahuan), karena mengkaji seluruh tolok ukur
ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat
gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun
ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan
tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi
yang benar, diletakkan setelah epistemologi.
Hingga tiga abad sebelum abad ini, epistemologi bukanlah suatu ilmu yang
dikategorikan sebagai disiplin ilmu tertentu. Akan tetapi, pada dua abad
13
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir untuk mencoba memberikan
jawaban atas masalah ini. Karena baik dari sisi metodologi atau pun subjek
keilmuan, filsafat menggunakan metodologi rasional dan subjek ilmu filsafat adalah
eksisten qua eksisten. Sebelum memasuki gerbang filsafat terlebih dahulu instrumen
yang digunakan dalam berfilsafat harus disepakati. Dengan kata lain, akal yang
digunakan sebagai instrumen berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah ia
absah atau tidak dalam menguak realitas. Betapa tidak, dalam menguak realitas
terdapat perdebatan panjang semenjak zaman Yunani Kuno (lampau) hingga masa
Postmodern (kiwari) antara kubu rasionalis (rasio) dan empiris (indriawi dan
persepsi). Semenjak Plato hingga Michel Foucault dan Jean-François Lyotard.
Pembahasan epistemologi sebagai subordinate dari filsafat menjadi mesti
adanya. Pembahasan epistemologi adalah pengantar menuju pembahasan filsafat.
Tentu saja, harus kita ingat bahwa ilmu logika juga harus rampung untuk
menyepakati bahwa dunia luar terdapat hakikat dan untuk mengenalnya adalah
mungkin. Pembahasan epistemologi sebagai ilmu yang meneliti asal-usul, asumsi
dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu
penting dalam menentukan sebuah model filsafat harus dikedepankan sebelum
membahas perkara-perkara filsafat.
Epistomologi berasal dari bahasa Yunani ”episteme” dan ”logos”. ”Episteme”
berarti pengetahuan (knowledge),”logos” berarti teori. Dengan demikian
epistomologi secara etimologis berarti teori pengetahuan. (Rizal, 2001: 16).
Epistomologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu,
serta bagaimana proses terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut,
Brameld (dalam Mohammad Noor Syam, 1984: 32) mendefinisikan epistomologi
sebagai “it is epistemologi that gives the teacher the assurance that he is conveying
the truth to his student”. Definisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai
“epistomologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia
memberikan kebenaran kepada murid-muridnya”. Disamping itu banyak sumber
yang mendefinisikan pengertian Epistomologi diantarannya:
1. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah
filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan
Epistomologi adalah pengetahuan sistematis yang membahas tentang
terjadinnya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan,
metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran
pengetahuan (Ilmiah).
3. Epistomologi adalah cabang atau bagian filsafat yang membicarakan tentang
pengetahuan yaitu tentang terjadinnya pengetahuan dan kesahihan atau
kebenaran pengetahuan.
4. Epistomologi adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber-
sumber pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan.
Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-
kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan
seperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam?
Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa
faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil?
Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi
mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari
jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang
akan dihadapinya.
Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya
mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan
menyadari bahwa:
1. Hakikat itu ada dan nyata;
2. kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
3. hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
4. manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal
dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya,
dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.
Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana
kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin
hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan kita
belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa
yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu
sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas
eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai
untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat
khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indera
lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang
sejarah manusia?Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan-
persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu
asumsi bahwa hakikat itu ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini,
keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Untuk
lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu
pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan
bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti benda-benda
tersebut dengan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya.
Dengan perantara teropong itu sendiri, ia berupaya menjawab dan menjelaskan
tentang realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya
kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan dalam
menampilkan warna, bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda-
benda yang ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?.
Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan kesalahan
penampakan oleh teropong. Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan
keabsahan dan kebenaran yang dihasilkan oleh teropong. Dengan ungkapan lain,
tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang
dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan
untuk melihat benda-benda yang jauh.
Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu
yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek) dan ma'lum
(obyek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti
asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan
menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan
pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan
menentukan kebenaran, mengenai hal yang dianggap patut diterima dan apa yang
patut ditolak. Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar