RSS
Container Icon

Ijaarah

Ijaarah

1. Pengertian Ijaarah

Salah satu kegiatan manusia dalam lapangan muamalah ialah ijaarah. Menurut bahasa, ijaraah artinya “upah” atau “ganti” atau “imbalan” dan menurut istilah adalah akad manfaat terhadap barang tertentu yang diserahkan kepada orang lain. Karena itu lafaz ijaarah mempunyai pengertian umum yang meliputi upah atas pemanfaatan suatu benda atau imbalan sesuatu kegiatan, atau uapah karena melakukan suatu aktivitas. Kalau sekiranya kitab-kitab fikih selalu menerjemahkan kata ijarah dengan “sewa-menyewa”, maka hal tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas.

Dalam arti luas ijaarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Hal ini sama dengan menjual manfaat suatu benda, bukan menjual ‘ain dari benda itu sendiri. Kelompok hanafiah mengartikan ijaarah dengan akad yang berisi pemilikan manfaat tertentu dari suatu benda yang diganti dengan pembayaran dalam jumlah yang disepakati. Dengan istilah lain dapat pula disebutkan bahwa, ijaarah adalah suatu akad yang berisi pengambilan manfaat sesuatu dangan jalan penggantian. Suatu rumah milik A, umpamanya, dimanfaatkan oleh B untuk menempari. B membayar pada A dengan sejumlah bayaran sebagai imbalan pengambilan manfaat itu, hal itu disebut ijaarah.

Bila diperhatikan uraina diatas, rasanya mustahil manusia bisa hidup berkecukupan tanpa hidup berijarah dengan manusia lain. Karena itu, boleh dikatakan bahwa pada dasarnya ijaarah itu adalah suatu aktivitas antara dua pihak yang berakad guna meringankan salah satu pihak atau meringankan keduanya.

Ijarah secara sederhana diartikan dengan transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu.

Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut ijarah al‑‘ain atau sewa menyewa seperti memyewa rumah untuk ditempati.

Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari tenaga seseorang disebut ijarah al‑zimmah atau upah mengupah seperti upah menjahit pakaian.

Ijarah baik dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah itu merupakan muamalah yang telah disyariatkan dalam islam.

Hukum ijarah adalah mubah atau boleh bila dilakukan sesuai dengan ketentuan ynag ditetapkan islam.

Tujuan disyariatkannya ijarah itu adalah untuk memberikan keringanan kepada umat dalam pergaulan hidup.

Seseorang mempunyai uang tetapi tidak dapat bekerja dipihak lain ada yang punya tenaga dan membutuhkan uang, dengan adanya ijarah keduanya saling mendapatkan keuntungan.

2. Firman Allah SWT dan Hadist Rasulullah SAW mengenai Ijaarah

Banyak ayat dan riwayat yang dijadikan argumen oleh para ulama akan kebolehan ijarah tersebut. Landasan dari Al-Qur’an, diantaranya dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. firman Allah Swt dalam surat Al-Zukhruf ayat 32 yang berbunyi:

Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentuan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan didunia, dan kami telah meninggikan sebahagian merekan atas sebahagian yang lain beberapa derjat agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan”.

2. firman Allah Swt dalam surat Al-Qashash ayat 26-27 yang berbunyi:

Salah seorang dari dua orang wanita itu berkata, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik kamu ambil untuk bekerja adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. Berkata ia (nabi Syuaib); sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari dua anakku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun, dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka hal itu adalah suatu kebajikan darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkanmu, dan Insya Allah kamu akan mendapatkan aku termasuk kedalam kelompok orang-orang yang baik”.

3. firman ALLAH dalam surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

Adapun landasan Sunnah tentang ijaarah ini, antara lain adalah :

1. Hadist riwayat Bukhari dari aisyah yang berbunyi:

“Rasulullah dan Abu Bakar pernah menyewa seorang dari bani al-Dil sebagai penunjuk jalan yang ahli, orang tersebut beragama yang dianut oleh orang-orang kafir Quraisy. Merka berdua memberikan kepada orang tersebut kendaraan dan menjadikan kepada orang tersebut supaya dikembalikan sesudah tiga malam di gua tsur”

2. Hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh ibnu Majal, yang berbunyi :

“Berikanlah upah kepada orang yang kamu pakai tenaganya sebelum kering keringatnya”

3. Hadist riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas menyebutkan :

“Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah upah kepada tukang bekam tersebut”

3. Garis besar ijaarah

1. Pemberian imbalan karena mengambil manfaat dari sesuatu ‘ain, seperti rumah, pakaian,

dan lain-lain.

2. Pemberian imbalan akibat sesuatu pekerjaan yang dilakukan oleh nafs, seperti seorang

pelayan. Jenis pertama mengacuh ada sewa-menyewa dan jenis kedua mengacuh pada upah-

mengupah

4. Rukun Ijaarah

a. adanya muajir (pihak yang memberikan ijaarah)

b. adanya musta’jir (orang yang membayar ijaarah)

c. adanya al-ma’qud ‘alaih (objek yang dijadikan sasaran)

5. Syarat Ijaraah

1. Ada ijab kabul ; (muajir mengucapkan : “saya sewakan kapada engkau....” dan musta’jir menjawab: “saya terima sewa ini.....”)

2. Sadar dan tidak dalam keadaan terpaksa.

3. Berakal sehat dan mampu membedakan mana perbuatan yang baik dan mana pula yang tidak baik. Oleh sebab itu, orang gila atau anak kecil yang belum mumayyiz tidak sah melakukan ijarah. Demikian pula orang mabuk dan orang yang kadang-kadang sakit ingatannya, tidak sah melakukan ijaarah ketika dalam keadaan sakit. Pada golongan Syafi’iah dan Hanabilah menambahkan bahwa orang yang melakukkan ijaara harus dewasa, tidak cukup hanya sekedar sudah mumayyiz.

6. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam aktivitas ijaarah

a. Para pihak yang menyelenggarakan akad haruslah berbuat atas kemauan sendiri dangan penuh kerelaan. Dalam konteks ini, tidak boleh dilakukan akad ijaarah oleh salah saatu pihak atau kedua belah pihak dalam keadaan terpksa, baik keterpaksaan itu dari pihak-pihak yang berakad atau pihak lain. Ketentuan hukum ini dapat dilihat pda firman allah swt dalam surat an-nissa ayat 29.

b. Didalam melakukan akad tidak boleh ada unsur penipuan, baik yang datang dari muajjir ataupun dari musta’jir. Banyak ayat ataupun riwayat yang berbicara tentang tidak bolehnya berbuat khianat ataupun menipu dalam berbagai lapangan kegiatan, dan penipuan ini merupakan suatu sifat yang amat dicela oleh agama. Dalam kerangka ini, dua pihak yang melaksanakan akad ijaarah pun dituntut memiliki pengetahuan yang memadai akan obyek yang mereka jadikan sasaran dalam berijaarah, sehingga antar keduanya tidak merasa dirugikan atau tidak mendatangkan perselisihan dikemudian hari.

c. Sesuatu yang diadakan mestilah sesuatu yang sesuai dengan realitas, bukan sesuatu yang tidak berwujud. Dengan sifat yang seperti ini, maka obyek yang menjadi sasaran transaksi dapat diserahterimakan, berikut segala manfaatnya.

d. Ketentuan barang sewaan, setiap sesuatu yang ada manfaatnya dan wujudnya tidak hilang. Seperti rumah untuk ditempati dan hewan untuk ditunggangi, maka sah diijaarahkan. Sebaliknya jika barang tersebut tidak memberikan manfaat maka tidak sah diijaarahkan.

e. Manfaat dari sesuatu yang menjadi obyek transaksi ijaarah mestilah berupa sesuatu yang mubah, bukan sesuatu yang haram. Ini berarti baha agama tidak membenarkan terjadinya sewa-menyewa atau perburuhan terhadap sesuatu perbuatan yang dilarang agama, seperti tidak boleh menyewakan rumah untuk tempat maksiat, baik kemaksiatan itu datang dari pihak menyewa atau yang menyewakan. Demikian pula tidak dibenarkan menerima upah atau memberi upah untuk sesuatu perbuatan yang dilarang agama.

f. Untuk kesempurnaan ijaarah, muajir harus menentukan batas atau kespakatan. Misalnya muajir berkata: “rumah ini saya sewakan kepadamu selama setahun”

g. Pemberian upah atau imbalan dalam ijaarah mestilah berupa sesuatu yang bernilai, baik berupa uang ataupun jasa, yang tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku. Dalam bentuk ini imbalan ijaarah bisa saja berupa benda material untuk sewa rumah atau gaji sesorang ataupun berupa jasa pemeliharaan dan perawatan sesuatu sebagai ganti sewa atau upah, asalkan dilakukan atas kerelaan dan kejujuran.

h. Upah ijaarah wajib ditentukan dengan akad dan harus disegerakan, kecuali disyaratkan untuk ditangguhkan

i. Ijaarah tidak menjadi batal jika muta’aqidaini (yang menyewa dan yang menyewakan) meninggal dunia. Akad ijaarah akan terus berlangsung hingga selesai perjanjian yang telah ditentukan dan orang yang meninggal dunia itu kedudukannya digantikan oleh ahli warisnya.

j. Yang membatalkan akad ijaarah, apabila ada kerusakan pada barang yang disewa, seperti rumah menjadi roboh dan hewan yang ditunggang menjadi mati, kebatalan sewaan ini diperhitungkan dengan sisa waktu penyewaan, bukan diperhitungkan dengan waktu yang dilaluinya. Menurut pendapat yang lebh kuat, ijaarah pada waktu yang telah didahuluinya tidak batal bahkan upah yang telah lewat itu akan terus berjalan

Sehubungan dengan transaksi ijaarah ini berkaitan dengan penghargaan terhadap suatu jasa yang dilakukan atau dimilliki seseorang atau suatu prestasi, maka mungkin timbul pertanyaan bagaimana hukumnya menerima upah dari mengajarkan Al-Qur’an atau agama kepada orang lain? Kalau ditinjau dari sisi kewajiban, mengajarkan agama adalah kewajiban seseorang yang memiliki pengetahuan kepada orang lain yang belum mengetahui. Akan tetapi jika ditinjau dari prestasi kerja yang memerlukan tenaga dan waktu, sesungguhny amengajarkan ilmu haruslah dipandang sebagai suatu aktivitas menusiawi yang perlu diberi imbalan sesuai dengan prestasi yang dilakukan, sebagaimana imbalan yang diberikan terhadap seseorang yang melakukan kegiatan-kegiatan halal lainnya.

7. Manfaat Dan Hikmah Ijaarah

a. Saling membantu antar manusia

b. Meringankan beban orang lain.

c. Menjalin hubungan silaturahmi antara kedua belah pihak

8. Kesimpulan

o Ijaarah mempunyai pengertian umum yang meliputi upah atas pemanfaatan suatu benda atau imbalan sesuatu kegiatan, atau uapah karena melakukan suatu aktivitas.

o Ijaarah itu adalah salah satu bentuk aktivitas antaa dua belah pihak yang berakad guna meringankan salah satu pihak atau saling meringankan, serta salah satu bentuk tolong menolong yang diajarkan oleh agama

o Ijaarah akan tetap sah walau muajir dan musta’jirnya sudah meninggal dunia, akad ijaarah akan terus berlangsung hingga selesai perjanjian yang tela ditentukan, dan orang yang meninggal dunia itu digantikan oleh ahli warisnya

o Akad ijaarah akan menjadi batal apabila terdapat kerusakan pada barang yang disewakan. Seperti rumah menjadi roboh atau hewan yang disewa itu mati.

9. Daftar Pustaka

Karim, Helmi, 2002, Fiqh Muamalah, Jakarta, Rajawali Press

Al- Qhizzi, M. Qasim, 1995,Qarib, Fat-hul, Bandung, Tri Genda karya

K. Lubis, Suhrawardi, 2oo4, Hukum ekonomi Islam, Bandung, Sinar Grafika

Syarifudin, Amir, 2003, Garis-garis besar fiqh, Jakarta, Kencana

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar